Mold & Mycotoxitosis

mold mocotoxitosis

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki daerah tropis basah yang merupakan tempat terbaik bagi pertumbuhan jamur (jamur dan khamir). Jamur memiliki ukuran berkisar 2,0 – 10µm x beberapa mm, multiseluler eukariotik dengan reproduksi aseksual dan seksual. Keberadaan jamur dapat menyebabkan timbulnya mikosis dan mikosis. Penyakit ini sering disebabkan oleh aspergillosis dan kandidiasis, sedangkan pada kasus mikotoksikosis kasus yang paling sering adalah aflatoksikosis. Mikotoksikosis merupakan kejadian yang disebabkan oleh senyawa toksik metabolisme jamur (Jacella et al. 2010). Pada tahun 1930 kasus kematian mendadak pada kuda dan sapi di Uni Soviet dan di Inggris-Inggris yang masing-masing sebanyak 10.000 ekor di setiap kota. Setelah dilakukan penelitian secara berkala, diketahui bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh mikotoksin dari kapang yang terbentuk pada pakan.

DAMPAK NEGATIF PADA PAKAN

Kapang akan tumbuh pada kondisi kelembaban lingkungan 70%, kadar air umpan 13% dengan suhu lingkungan 24°C. Adanya kapang pada pakan akan menurunkan cita rasa (palatability) yang dihasilkan dalam asupan pakan yang lebih rendah. Pada penurunan konsumsi pakan ternak secara langsung berdampak pada penurunan produksi sebesar 5-10% (Wright 2011). Selain itu berdampak pada nilai gizi pakan seperti energi, vitamin, kerusakan protein, dan asam amino pakan.

Makanan yang terkontaminasi jamur akan menimbulkan berbagai penyakit jika tertelan oleh ternak, salah satunya adalah gangguan pernafasan. Selain itu, spora kapang mudah disebarkan oleh angin yang akan menyebabkan gangguan pernapasan jika terhirup oleh peternak. Oleh karena itu, upaya pengendalian pertumbuhan jamur pada pakan sangat penting dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan pengeringan, tekanan osmotik, penggunaan autoklaf, di bawah suhu penyimpanan, pengemasan, dan pemberian inhibitor cetakan. Dari berbagai pilihan tindakan pencegahan tersebut, penggunaan mold inhibitor adalah yang paling praktis, ekonomis dan paling efektif.

Padahal, PT Tienyen memiliki produk penghambat jamur yang bekerja dengan merusak membran dinding sel dan membran sel jamur yang mengubah permeabilitas membran sel. Kondisi ini memungkinkan untuk menyusup ke dalam sel, menyebabkan pengasaman plasma sel. Sel plasma kemudian menghasilkan agregasi komponen yang ireversibel sehingga mencegah metabolisme sel kapang dan proliferasi spora jamur.

Gambar 2 Foto aktivitas penghambatan non spesifik pada pakan mould dengan berbagai sediaan (Dosis mould inhibitor kami 0.4g/kg pakan, dan dosis mould inhibitor merk lain 0.5g/kg pakan)

KOKSIDIOSIS ; Ancaman Besar Dalam Pemeliharaan Unggas

Koksidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Eimeria spp. Masing – masing Eimeria spp. memiliki host yang spesifik (selflimiting) sehingga jenis Eimeria spp. yang ditemukan pada unggas tidak dapat menginfeksi jenis hewan lain dan sebaliknya. yang termasuk dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, sub kelas Coccidia, ordo Eucoccidiae, dan sub ordo Eimeriina.

Terdapat 6 spesies Eimeria spp. yang memiliki patogenisitas yang tinggi, yaitu E. tenella, E. acervulina, E. necatrix, E. brunetti, E. maxima, dan E. mivati. ldentifikasi spesies Eimeria yang menginfeksi dapat ditentukan dengan melihat keparahan lesi, lokasi lesi pada intestine (usus) , ookista (bentuk, warna dan ukuran), ukuran skizon dan merozoit, dll. Dari keenam spesies tersebut, diketahui E. tenella merupakan spesies yang paling sering menyebabkan Koksidiosis pada ayam broiler.

Siklus hidup Eimeria spp. terdiri dari dua tahap perkembangan dalam tubuh induk semang yaitu tahap eksogen (sporogoni) dan tahap endogen (skizogoni dan gametogoni). Pada fase eksogen, ookista unsporulasi yang bersifat tidak infektif diekskresikan dari host melalui feses, ookista ini akan mengalami sporulasi pada lingkungan yang memiliki kelembaban, kehangatan, dan oksigen yang sesuai sehingga menjadi ookista sporulasi (infektif) yang memiliki empat sporokista dan masing-masing mengandung dua sporozoit. Selanjutnya fase endogen terjadi di dalam usus host yang merupakan reproduksi aseksual (schizogoni) diikuti oleh diferensiasi seksual (gametogoni), fertilisasi. Rangkaian proses ini akan menghasilkan ookista unsporulasi yang akan dikeluarkan kembali bersama dengan feses.

Unggas yang terinfeksi koksidia menunjukkan gejala klinis berupa anoreksia, depresi, bulu berdiri, pial dan jengger berwarna pucat, pertumbuhan terhambat, sampai dapat menyebabkan kematian. Perkembangbiakan Eimeria sp. pada sel epitel mukosa usus halus menyebabkan terjadinya kerusakan sel epitel dan terjadi reaksi peradangan.

Sel-sel radang yang berkumpul di sekitar lesi akan meningkatkan permeabilitis pembuluh darah usus halus sehingga terjadi perdarahan yang dapat menyebabkan terjadinya berak berdarah. Beberapa spesies Emeria membentuk koloni di usus halus yang berisi ratusan merozoit. Merozoit tersebut akan berkembang dan menginvasi lebih ke dalam hingga ke lapisan lamina propria sehingga saat merozoit dilepaskan dari  koloni akan terjadi erosi yang parah pada mukosa usus halus. Erosi mukosa usus halus tersebut menyebabkan penyerapan nutrisi menjadi tidak optimal dan terjadi dehidrasi. Kematian terjadi setelah 4 sampai 6 hari post infeksi.

Faktor – faktor infeksi dari kasus koksidiosis ini diantaranya yaitu:

  • Virulensi Eimeria yang tinggi
  • Biosekuriti yang kurang baik
  • Kepadatan populasi yang tinggi
  • Terdapat variasi umur dalam satu kandang
  • Peralatan tercemar koksidia, dan juga
  • Kondisi litter yang basah (kelembaban melebihi 30%).

Kerugian yang diakibatkan oleh kasus koksidiosis pada unggas diantaranya yaitu persentase kematian yang tinggi, penurunan berat badan, penurunan produksi telur, FRC menjadi tinggi, serta imunosupresi. Kondisi imunosupresi dapatberakibat fatal karena ternak akan lebih mudah terinfeksi penyakit lain, sehingga mengganggu proses pertumbuhan, produksi, dan juga reproduksi dari ternak tersebut. Oleh sebab itu pengendalian dan pengobatan koksidiosis yang tepat harus betul – betul diperhatikan. Pengobatan kasus koksidiosis bisa dengan menggunakan antikoksi baik antikoksi chemical seperti Diclazuril, Robenidine, Deccoquinate, dll, maupun menggunakan antikoksi ionofor seperti Monensin, Salinomycin, dan Maduramycin.

Penggunaan antikoksi sesuai dengan dosis yang dianjurkan akan menghambat perkembangan skizon pada awal perkembangan Eimeria, sehingga proses reproduksi Eimeria didalam tubuh host tidak dapat berlangsung dan siklus hidup menjadi terhenti. Pengobatan koksidiosis yang tepat dan dilakukan secepat mungkin akan menekan berbagai kerugian yang ditimbulkan dari infeksi koksidiosis ini.