Qilu Pharmaceutical bersama PDHI menggelar seminar virtual “Strategi Pengendalian Koksidiosis dan Efektivitas Antikoksidia”
Timpangnya biaya produksi dengan harga jual hasil unggas sangat memukul peternak. Diperparah dengan performa yang belum optimal akibat challenge penyakit unggas seperti koksidiosis baik yang terjadi secara akut maupun kronis.
Qilu Pharmaceutical bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menggelar seminar virtual “Strategi Pengendalian Koksidiosis dan Efektivitas Antikoksidia” pada Sabtu (27/11). Acara ini menghadirkan Prof Charles Rangga Tabbu yang memaparkan “Strategi Pengendalian Koksidiosis terkini” dan dilanjut dengan pemaparan “Efektivitas antikoksidia dan penerapannya”.
Koksidiosis sendiri merupakan penyakit protozoa yang mudah menular, biasa menyerang unggas dan berbagai jenis burung. “Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan pada usus, kecuali koksidiosis ginjal pada angsa. Infeksinya dapat berupa ringan atau berat,” paparnya.
Cara penularan koksidiosis tidak secara langsung dari ayam ke ayam, penularan alami hanya terjadi akibat menelan ookista hidup yang telah bersporulasi seperti melalui litter, debu, pakan dan air minum yang tercemar ookista.
Adapun strategi penanggulangan koksidiosis pada ayam yang ia sampaikan yaitu dengan menjaga semua aspek manajemen pada kondisi optimal, seperti biosekuriti yang ketat melalui sanitasi, penggunaan desinfektan yang sesuai untuk ookista, dan pengelolaan litter yang optimal.
Selain itu, pengendalian koksidiosis dengan kemoterapi, pencegahan koksidiosis sendiri dapat dilakukan dengan vaksinasi. Pemberian vitamin A dan K dapat digunakan sebagai terapi suportif,” imbuhnya.
Acara dilanjutkan oleh perwakilan dari Qilu Pharmaceutical Group, ProfGao Qin, yang membawakan materi “Practice of Controlling Coccidia in Broilers”.
Pada akhir acara ini, Qilu Pharmaceutical juga memberikan penghargaan “Bestari Award 2021” sebagai bentuk apresiasi kepada insani yang telah berkontribusi besar di dunia peternakan. Pada saat ini, apresiasi ini jatuh kepada Prof Michael Haryadi Wibowo.
Credit: Troboslivestock